Senin, 02 Maret 2015. Untuk pertama kalinya Saya datang ke Makam Tuanku Imam Bonjol Tidak terfikirkan sebelumnya jika sesunggunya Letak makam pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol berada di Desa Lotak Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa. Tidak jahu dari Kota Manado. sebelumnya Saya kira makam Tuanku Imam Bonjol ada di Sumatra dan ternyata makamnya ada di Sulawesi Utara. Alhamdulilah .... Saya bisa berkunjung ke sini. Memasuki kawasan makam yang cukup luas, terlihat sangat sepi. Setelah dari tempat parkir kendaraan, Saya melewati taman dengan beraneka ragam bunga. Masuk ke bangunan yang bergaya khas Sumatera Barat terlihat dari bentuk atapnya yang berbentuk bagonjong. Di dalam bangunan hanya ada 1 makam, batu nisan marmer bertuliskan nama asli, gelar dan tanggal Beliau wafat. Ada Lukisan tiga dimensi didinding sebelah kanan mengambarkan Tuanku Imam Bonjol sedang naik Kuda putih, tangan kiri memegang tali Kuda dan tangan kanan memegang senjata.
Tempat Ibadah Tuanku Imam Bonjol
Lihat dari petunjuk yang ada di dinding bagunan, mengarahkan Saya untuk melihat batu yang dulu dipakai oleh Beliau untuk Sholat. Menuruni anak tangga yang ada disamping bagunan, kanan dan kiri ada pohon-pohon bambu, sambil menuruni anak tangga iseng-iseng Saya hitung jumlahnya, ya...ada 75 (jika tidak salah hitung) anak tangga yang harus dilalui jika ingin turun melihat Tempat Ibadah Tuanku Imam Bonjol. Tempat ibadah imam Bonjol berupa batu besar yang permukaannya rata, Didekat batu tersebut, terdapat sumur yang digunakan untuk mengambil air wudhu. lokasi ini tepat di tepi sungai Malalayang. Dan sudah terlindungi oleh bangunan yang menurut Bapak Nurdin Popa,beliau adalah juru kunci dan penerus ke 5 dari sala satu pengawal Imam Bonjol, dibangun pada tahun 2006. Setelah sholat dhuhur di tempat ini, waktunya melanjutkan perjalanan.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Hasil tanya-tanya Mbah Google
(lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia
tahun 1772) Wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Desa Lotak, Pineleng, Minahasa,
6 November 1864. Beliau adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir
di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah)
dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama
yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang,
Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin
ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam
sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada
Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari
dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Bat Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang
ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan
penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri
juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan
Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni
melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan
maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena
disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain
di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda,
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan
kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama
berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum
Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun
banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran
kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)]
yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara
yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous,
Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan
seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang
Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana
pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein
Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals
dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika
yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka
juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar